Selasa, 30 Juni 2009

KEBIJAKAN UMUM

Kebijakan Umum
Policy (kebijakan) :

- Kumpulan keputusan yang diambil pelaku demi usaha

- Memilih tujuan & cara mencapai tujuan

Sehingga : Pembuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.


Input ==> proses ==> out put

Analisa --- membuat --- kebijakan

Politik ---- keputusan --- umum


KEBIJAKAN PUBLIK

Mengenai:

- apa yg pemerintah lakukan?

- mengapa mereka melakukannya?

- apa perbedaan membuatnya?


pilih lakukan atau tidak lakukan


Tugas pemerintah:

- mereka mengatur perselisihan dalam masyarakat

- menyalurkan barang dan jasa

- membuat uang ==> daripada kebijakan umum ==> mengatur : a. organisasi. b. penyaluran. c.produksi


Wilayah:

- pertahanan

- urusan asing

- pendidikan

- keamanan

- pajak

- sehat, dan lain-lain. ==> manusia, uang, bahan, program, pimpinan.


Modern ==> tingkah laku

memproses ==> deskripsi & penjelasan ==> sebab & efek aktifitas pemerintah.


PEMBAGIAN DAN ALOKASI

Pembagian dan alokasi nilai – nilai dalam masyarakat yang mengikat ==> Sering tidak merata ==> Konflik <== Hub. Dengan kekuasaan & kebijakan pemerintah


Menyangkut :

- Benar baik

- Kenutuhan & keinginan

- Manusiawi


KEKUASAAN ==> Kemampuan mempengaruhi tingkah laku seseorang & kelompok

sesuai keinginan pelaku <== Diperebutkan, Dipertahankan


Pengambilan keputusan <== Keputusan yang mengikat ketika ditaati <==(umum bukan Individu) Alternatif – alternatif, Prioritas <==(lebih sulit, kolektif) Who gets : What, When, How (Heterogen/ Homogen )


Point :

- Negara

- Kekuasaan

- Pengambilan keputusan

- Kebijakan

- Distribusi & alokasi resources


Negara ==> organisasi dalam satu wilayah ==> Sah, Ditaati rakyat

==> Kehidupan Negara ==> Systemnya


POLITIK DALAM KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan ==>

Perawat :

- Konsumen peduli pemerintah

- Peduli swasta

- Sektor lain


Politik ==> tujuan umum

Ilmu :

1. Proses penentuan tujuan

2. Melaksanakan tujuan


Pengambilan keputusan

Tujuan ==> kebijakan umum ==> Power ==> Mengatur & membagi

Autority ==> sumber yang ada <== Persuasi paksaan


ANALISA POLITIK

1. Institusional : kebijaksanaan sebagai instansi antivity

Pemerintah :

- sah menurut hukum

- universalisme

- memegang hak monopoli

==>hadiah, hukuman

2. Teori group : kebijaksanaan sebagai keseimbangan grup

Mengatur ==> perselisihan grup

- menetapkan peranan permainan

- mengatur penyelesaian perselisihan keseimbangan minat

- menetapkan penyelesaian perselisihan dalam bentuk kebijakan umum

- menguatkan penyelesaian perselisihan ini

3. Teori elite : elit, berhenti & administrasi, petunjuk kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, gumpalan

Kebijakan elite ==> tergantung pada : oknum, sistem social, system budaya

4. Rasional : kebijaksanaan pencapaian sasaran efisien

Efisien :

- nilai mencapai

- nilai sacrifica

Rekening:

- sosial

- politis

- migrasi

- kebudayaan

- kuantitatif

- kualitatif

Pembuat kebijakan – harus:

1 tahu semua pilihan2 nilai sosialnya

2 semua alternatif kebijaksanaan tersedia

3 semua akibat

4 semua rasio mencapai / sacrified semua alternatif kebijaksanaan

5 memilih alternatif kebijaksanaan paling efisien

-----------anjuran--------------

masukan ========> masukan

-----------situasi --------------

5. Incremental : kebijaksanaan sebagai variasi di pos

“Perkembangan masyarakat” ==> Pembangunan sosial ==>Untuk memecahkan masalah kebijaksanaan dalam perasi pos

Halangan =========> SWOAT

waktu

latar belakang masalah S = Kekuatan

determinan masalah W = kelemahan

prioritas masalah, dll A = analisis

6. Proses

7. Teori pilihan public

8. Game theory : kebijaksanaan sebagai pilihan rasional dlm situasi pertandingan

Konsep utama: STATEGI

pilihan terbaik

hasil terbaik

Pemain A

alternatif (1) alternative(2 )

Pemain B alternatif (1) hasil hasil

alternatif (2) hasil hasil

MELIHAT :

- manusia

- Permainan

- Bagaimana memainkan permainan

9. TEORI SISTEM : kebijakan sebagai system output

- Proses pengambilan kebijakan dlm ruang lingkup DPD-RI

- Prinsip dasar : masyarakat saling tergantung satu sama lain seperti organisme dlm biologi

- Dikembangkan oleh politisi : David Easton tahun 1953

- INPUT : permintaan (demand), dukungan (support)

- OUTPUT : keputusan (decision), action
Diposkan oleh lulu di 00:40

POLITIK dan KESEHATAN

Politik???

* Strategi
* pemikiran/ilmu
* seni
* cara
* persaingan (competition, konflik)
* pengaturan (regulasi)
* kedudukan (accupation)
* kekuasaan (power)

So..., politik adalah strategi, ilmu, seni, dan cara yang digunakan untuk mencapai/mendapatkan kekuasaan

1. Pengaturan (regulasi)

* siapa yang mengatur
* bagaiman aturannya
* siapa yang diuntungkan dalam pengaturan

Kebijakan politik -> kebijakan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan.

2. Definisi politik
Menurut Laswell :
"who get what,how many, whwn and where "

* Politik Patrimonial : politik dimana hubungan antara penguasa (patron) dan yang dikuasai (client) ada dalam hubungan partnernalisme (hubungan timbal balik).
* Politik Kapitalis : deberikan kepada orang yang memberi modal.

Apa relevansi kebijakan pemerintah kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung?

* Kelaparan -> bantuan tidak teralokasi dan terdistribusi dengan baik/tepat
* angka kematian bayi -> tidak ada keadilan -> kemiskinan -> ibu-ibu tidak dapat menjaga kehamilan dan kebutuhan selama hamil tidak terpenuhi -> ketika melahirkan banyak bayi yang meninggal
* mall praktik
* ijin praktik
* RUU keperawatan

3. Sistem Politik

* Komunis

- sistem politik yang menempatkan negara sebagai pusat kekuasaan
- tidak ada kepemilikan/perencanaan/pelaksanaan/pengendalian oleh negara (etatisme)
- tidak ada partisipasi
-mengkritik sistem politik kapitalis, karena prinsip kapitalisme, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin

* Demokrasi

- dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
- ada partisipasi
- pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat

* Kapitalis

-sistem yang memberikan kebebasan orang untuk menghimpun dan menggunakan modal

* Liberalis

- menghargai dan mengedepankan kebebasan individu

* Feodal

- kekuasaan ditangan kaum bangsawan/ tuan tanah

* Borjuis

-kekuasaan berada ditangan pemilik modal atau industri

* Pancasila

-bukan etatisme, bukan liberalisme
-campuran/mix, jalan tengah

* Desentralis/ otonom

-tiap-tiap daerah berhak mengelola rumah tangganya sendiri

* Sentralis

-pusat pemerintahan yang berhak mengatur dan memegang kekuasaan

* Federal = negara bagian
* Kesatuan = integralistik

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF ALA PONARI:

Di tangan bocah cilik Mohammad Ponari segenggam batu dipercaya dapat mengobati segala macam penyakit. Jadilah dia berjuluk dukun cilik yang sepanjang pagi hingga malam diburu puluhan ribu orang yang berharap berkah kesembuhan darinya. Warga yang mencari kesembuhan tak hanya memadati rumah dan halaman keluarga Ponari. Desa Balongsari, Jombang, Jawa Timur, kampung halaman Ponari pun penuh sesak oleh lautan manusia.

Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini 11 Februari lalu. Alasannya, Ponari kelelahan dan jatuh sakit. Dan telah jatuh korban pula. Empat orang tewas ketika berdesakan hendak memburu pengobatan Ponari. Setelah ditutup, warga yang tak kebagian air bekas celupan batu milik Ponari memburu air di sumur dan comberan di sekitar rumah Ponari. Lantaran peminatnya terus berdatangan, pekan ini, pengobatan Ponari akhirnya dibuka kembali.

Banyak orang kadung percara dengan pengobatan ala Ponari. Namun tahukah Anda, ketika Ponari sakit, si dukun cilik itu dibawa ke dokter. Meski tak sampai menginap di rumah sakit, masyarakat perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehatnya saat harus percaya dengan pengobatan ala Ponari. Karena bahkan pada dirinya sendiri, dia tak mampu menyingkirkan sakit yang menderanya. Bukan itu saja. Kasmin, ayah Ponari, pun lebih memilih pengobatan modern dibandingkan harus berobat ke anaknya sendiri.

Benarkah jimat memiliki kekuatan yang tersembunyi? Apakah ini hanya takhayul semata?

Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Jimat” diartikan sebagai benda yang mengandung kesaktian untuk menolak penyakit, menjadikan kebal senjata, dan sebagainya.
Penggunaan “dan sebagainya” pada keterangan tersebut agaknya sengaja dilakukan penyusun kamus agar pendefinisian kata “Jimat” tidaklah terlalu panjang dan bertele-tele. Pada kenyataannya, keyakinan mengenai jimat memang tidak berhenti pada aspek menolak penyakit dan kebal senjata. Masih banyak aspek-aspek lain yang diyakini bisa muncul lewat kekuatan (gaib) sebuah jimat. Sebagai contoh, jimat untuk peruntungan, jimat pengasihan, hingga jimat untuk kekuatan seks.
Benda-benda yang dianggap sebagai jimat dilaporkan ditemukan di berbagai belahan dunia. Pada masyarakat Mesir Kuno, misalnya, ada macam-macam jimat yang ditemukan menempel pada mumi. Dua di antaranya adalah yang disebut Scarab sebagai lambang keabadian, dan Ankh berupa palang terbalik sebagai simbol kehidupan. Kedua model jimat ini masih digunakan di Barat.
Di wilayah Polinesia terdapat Tiki, berupa benda kecil berbentuk ukiran tubuh manusia yang berhubungan dengan kelahiran. Jimat model ini juga masih populer di Barat.
Sementara itu, benda-benda alamiah berbentuk aneh pun kerap dipakai sebagai jimat. Mulai dari logam, bulu, kain, kayu, tulang, kerang, gigi dan kuku binatang, sampai tanaman. Barang-barang itu diyakini menyimpan energi dari kekuatan alam. Sebagai contoh, bagi pria suku primitif Mocovi di Chaco, Amerika Utara, kuku rusa yang diikatkan di pergelangan kaki dan pinggang dijadikan sebagai jimat agar membuat mereka bisa berlari secepat rusa.Atau, kita tak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di kalangan masyarakat kita pun ada kepercayaan yang nyaris serupa. Batu akik kecubung asihan dipercaya punya khasiat menolak penyakit menular, menambah rasa percaya diri, kewibawaan, dan kehormatan. Jenis akik ini biasanya juga dipakai sebagai jimat agar enteng jodoh.
Demikianlah beberapa buah contoh jimat alamiah, yang tentu saja untuk memperolehnya tidaklah mudah. Bahkan, jimat-jimat alamiah tersebut sejatinya tidak bisa langsung siap pakai atau langsung terasa khasiatnya, melainkan juga harus melalui proses ritual tersendiri untuk pengisiannya.
Sekarang, mari kita fokuskan pembahasan kita pada berbagai jenis jimat buatan manusia, yang tentu saja ahli dalam bidang ini. Mengutip pendapat Prancis Barrett dalam The Magis or Celestial Intelligencer, apa yang disebut sebagai jimat buatan tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu kala, dan khasiatnya memang bisa dirasakan. Sebagai contoh, Barrett mengatakan, “Jika seseorang mengenakan jimat dari perak, logam yang mewakili bulan, dibuat ketika bulan sedang baik, maka orang itu akan mendapatkan kesehatan yang baik dan dihormati orang.”
Menurut Saipudin, paranormal yang cukup kondang dengan berbagai kreasi bentuk jimat, apa yang dinamakan sebagai jimat buatan memang sengaja “diisi” dengan kekuatan gaib lewat ritual tertentu. Dengan disertai doa dan niat tertentu, kekuatan itu akan mengalir ke dalam benda yang menjadi sarana jimat.
“Pengisian kekuatan gaib pada benda-benda tersebut harus dengan laku (tirakat). Misalnya, dengan bertapa seperti dilakukan para empu zaman dulu. Atau kadang saya mengisinya dengan cara melakukan wirid dan riyadhoh, dengan disertai puasa selama empat puluh hari,” tambah Saipudin
Jimat buatan memang dibikin oleh ahlinya dengan cara mencurahkan pikiran dan kekuatannya pada suatu benda sehingga menghasilkan energi gaib yang luar biasa. “Khasiat jimat, terutama jimat buatan, sangat tergantung pada niat saat pengisian,” tegas Saipudin.
Ada anggapan awam bahwa setiap benda bisa “diisi” atau dijadikan sebagai jimat. Oleh Saipudin hal ini dianggap kurang tepat. Dengan mengutip penjelasan yang terdapat dalam Kitab Mamba’u Usulil Hikmah, dia menyebutkan hanya ada empat macam benda yang bagus dijadikan sebagai media jimat. Keempat macam benda tersebut, adalah: kain, kertas, logam (terutama emas, perak, besi, dan timah), dan kulit binatang (harimau dan kijang).
Pemilihan media jimat tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembuatan jimat. “Sebagai contoh, untuk membuat jimat pelarisan bisnis atau usaha itu sangat baik bila menggunakan media kain atau logam berupa perak atau besi. Sementara untuk kadigdayaan, sangat baik jika menggunakan media berupa kulit binatang, harimau atau kijang,” papar Saipudin.

Khasiat Jimat
Benarkah sebuah jimat dapat berkhasiat? Atau mungkin khasiat itu muncul akibat sugesti semata? Lantas, apakah benar menggunakan jimat itu secara hukum agama (Islam) dikatakan sebagai syirik?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, yang selama ini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat awam, sebelumnya marilah kita simak kisah berikut ini, yang kami nukilkan dari Kitab Kisosul Anbiya….
Seperti diketahui, atas ijin Allah, Nabi Sulaeman AS bisa melakukan hal-hal yang sangat luar biasa. Dia bisa memerintah bangsa jin, menundukkan angin, berdialog dengan berbagai jenis binatang, dan lain sebagainya. Berkat kemampuannya yang maha luas ini, Sulaeman menjadi seorang raja yang kaya raya, dan mendapat pengakuan baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Kendati demikian dia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana.
Untuk melancarkan roda pemerintahan yang dipimpinnya, Sulaeman didampingi oleh dua orang perdana menteri. Masing-masing adalah Asip Bin Barkhoya yang berasal dari bangsa manusia, dan Istirohi yang berasal dari bangsa jin.
Tanpa sepengetahuan Sulaeman, Istirohi sesungguhnya sudah sejak lama ingin mengetahui apakah yang menjadi sumber kekuatan sang nabi. Sebagai jin yang licik dan licin, dia selalu kasak-kusuk mencari rahasia itu, sampai akhirnya dia pun mengetahui bahwa sumber kekuatan Nabi Sulaeman terdapat pada cincin kesayangannya. Cincin ini memang tak pernah lepas dari jari manis Sulaeman.
Istirohi tak pernah berhenti mencari akal untuk mencuri cincin ini. Sampai suatu ketika mimpinya itu menjadi kenyataan.
Dikisahkan, suatu ketika saat Nabi Sulaeman sedang mandi di kolam pemandian raja, tanpa curiga ada yang memiliki niat jahat pada dirinya, dia meletakkan cincin kesayangannya itu di atas batu yang ada di tepian kolam. Ketika itulah Istirohi mencurinya. Dia kemudian segera pergi ke ruangan sang raja. Begitu memakai cincin tersebut, maka menjelmalah Istirohi sebagai Sulaeman yang agung dan perkasa.
Lantas, apa yang terjadi dengan Nabi Sulaeman?
Dikisahkan, setelah kehilangan cincinnya maka dia pun kehilangan semua kekuatan dan keperkasaan yang ada pada dirinya selama ini. Bahkan, tak ada seorang pun dari hamba dan rakyatnya yang mengenali siapa dia yang sesungguhnya. Ya, Sulaeman benar-benar berubah menjadi orang biasa, rakyat jelata.
Ringkas cerita, Sulaeman akhirnya terusir dari kerajaannya sendiri. Dia mengembara dan hidup sangat miskin. Bahkan untuk sekedar makan saja sulit untuk mendapatkannya.
Sampai suatu ketika, tibalah Sulaeman di sebuah pesisir. Di sana, dia melihat seorang nelayan tengah menarik dan melepas ikan-ikan dari jalanya. Karena didorong oleh rasa lapar, Sulaeman menawarkan diri untuk membantu si nelayan. Si nelayan tidak keberatan, namun dia hanya bisa memberikan satu ekor ikan kepada Sulaeman sebagai upah dari jerih payahnya.
Tidak diceritakan berapa lama Sulaeman membantu nelayan tua itu. Namun disebutkan, karena terpesona oleh keluhuran budinya, maka si nelayan akhirnya menikahkan Sulaeman dengan salah seorang putrinya.
Begitulah, Sulaeman menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan….
Sementara itu, setelah Nabi Sulaeman kehilangan cincinnya, maka Istirohi-lah yang menguasai seluruh kerajaannya. Dengan cincin sakti itu, Istirohi benar-benar menjadi Sulaeman baik secara fisik maupun kekuatannya. Hanya satu hal yang membuat hamba dan rakyatnya merasa heran. Sulaeman tak lagi memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sebagai sosok perdana menteri yang cakap dan andal, Asip Bin Barkhoya menaruh curiga pada sang raja yang telah berubah. “Mengapa Baginda Sulaeman menjadi tidak adil? Bukankah dia bukan hanya raja, tapi juga nabi yang harus berbuat adil kepada ummatnya?”
Kira-kira demikianlah kecurigaan Asip Bin Barkhoya. Dia merasa yakin bahwa yang memerintah saat itu bukanlah Sulaeman yang sebenarnya.
Akhirnya, Asip Bin Barkhoya mengadakan sebuah rapat rahasia dengan para ponggawa kerajaan lainnya. Ternyata, semuanya memiliki kecurigaan yang sama. Namun masalahnya, bagaimana cara membuktikan kecurigaan itu.
Setelah melakukan dialog, Asip Bin Barkhoya tiba pada suatu kesimpulan bahwa untuk membuktikan yang duduk di singgasana adalah Sulaeman palsu, maka harus diadakan pembacaan Kitab Zabur di dalam istana. Semua menyetujui usulan ini.
Pada hari yang telah ditentukan, saat Sulaeman palsu masih lelap di peraduan, sebuah majelis akbar digelar untuk membacakan Kitab Zabur. Apa yang terjadi?
Saat ayat-ayat Zabur berkumandang maka kepanasanlah seluruh tubuh Sulaeman palsu alias Istirohi. Dia menjerit-jerit kesakitan. Semakin keras Zabur dibaca, maka Istirohi pun semakin kesakitan, bahkan kemudian tubuhnya terlempar ke angkasa dan cincin sakti milik Nabi Sulaeman itu terlepas dari jari manisnya.
Dikisahkan, setelah terlepas dari tangan Istirohi cincin itu kemudian jatuh ke tengah samudera dan dimakan oleh seekor ikan. Ikan ini kemudian tertangkap oleh jala Nabi Sulaeman AS yang telah menjadi nelayan. Tanpa curiga, Sulaeman membawa ikan ini ke rumahnya. Saat isterinya membersihkan ikan tersebut, maka di dalam perut ikan ditemukanlah cincin sakti miliknya yang telah lama hilang.
Akhir dari cerita ini tentu sudah dapat diduga. Sulaeman memakai cincin sakti itu, dan dia kembali seperti sediakala….
Kisah tersebut jelas merupakan ujian Allah atas kenabian Sulaeman AS. Di samping itu, ada hal yang dapat disandingkan dengan pembahasan kita mengenai kesaktian sebuah jimat. Bahwa, Allah SWT memang berkehendak memberi kekuatan kepada benda-benda tertentu. Salah satunya, seperti pada cincin Nabi Sulaeman sebagaimana dikisahkan tadi.
Lalu, simak pula kisah kemukjizatan tongkat Nabi Musa AS yang dapat membelah lautan. Intinya, benda apa saja dapat memiliki kekuatan tersendiri atas ijin Allah SWT. Dalam lingkup yang lebih kecil, tidaklah mustahil atau bahkan diklaim sebagai takhayul bahwa jimat-jimat itu juga mengandung suatu kekuatan.
Baik cincin atau tongkat pada kisah Sulaeman dan Musa tentu saja kedua benda tersebut hanyalah media. Hal yang sama tentunya berlaku juga pada jimat. Ya, jimat, apa pun bentuknya, hanyalah sebuah media. Sementara kekuatan yang ada di dalamnya mutlak dari dan berasal dari Allah SWT. Karena itu, apakah seorang yang memegang jimat harus dianggap syirik?
“Tentu saja semua itu tergantung pada keyakinan masing-masing. Namun menurut hemat saya, hal tersebut harus kita kembalikan pada proses pembuatannya. Jika proses pembuatannya bersendikan pada Al Qur’an dan hadits, menurut hemat saya tentu tidak perlu dipermasalahkan,” komentar Saipudin menanggapi pertanyaan di atas.
Lebih lanjut diuraikan olehnya bahwa cara membuat jimat, mulai dari pemilihan bahan hingga proses penulisannya sesungguhnya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Untuk menulis jimat misalnya, perlu diketahui rumusannya.
“Sama seperti matematika, penulisan jimat juga ada rumusnya. Jadi, tidak boleh sembarangan,” tegas Saipudin.
Seperti halnya Aljabar, menulis jimat juga mengenal perhitungan. Sebagai contoh, jika ingin membuat jimat dengan mencantumkan lafadz Asma’ul Husna yang jumlah nilainya 35 dengan memasukkannya ke dalam 8 kolom, maka kedua pertemuan sudut harus menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 35. Demikian juga angka-angka pada kotak yang di tengah harus berjumlah 35 juga (lihat contoh kolom jimat).
“Mengapa harus seperti ini? Nah, ini tidak bisa dicarikan penjelasannya, sebab sudah pakem dari para ahli Ilmu Hikmah memang seperti itu,” urai Saipudin.
Di dalam pakem yang sama, juga telah ditetapkan aturan penulisan kolom-kolom pada jimat, yakni dimulai dari 4, 5, 6, dan 8. Ada juga yang 13 kolom, namun ini jarang digunakan karena tingkat kesulitannya. Masing-masing dari jumlah kolom tersebut juga memiliki nama tersendiri. Contohnya, yang 4 kolom disebut Murobba’, 5 kolom Mukhommas, dan yang 6 kolom disebut Musaddas.
Sementara itu, menyangkut waktu penulisan jimat digunakan dua rumus sekaligus, yakni rumus hari dan jam. Dijelaskan oleh Saipudin, kedua rumusan ini penting dipakai karena pada masing-masing hari ada rahasianya tersendiri. Menyangkut jam yang baik disebut sebagai Sa’at Sa’idah.
“Dalam pakem Ilmu Hikmah, setiap hari itu dijaga oleh nabi, malaikat dan jin yang berbeda. Rumusan ini sudah ada sejak ribuan tahun silam, hanya saja jarang diungkap. Mungkin, hanya para santri yang pernah belajar di pondok pesantren salafiyah (tradisional) yang mempelajarinya. Hal itupun sangat jarang diajarkan Kyai, kecuali kepada para santri senior yang sudah mesantren puluhan tahun,” papar Saipudin.
Terkait dengan rumus hari dan Sa’at Sa’idah, sebagai contoh disebutkan Saipudin:
- Hari Minggu: Nabinya Isya, Malaikatnya Rupayail, Jinnya Maimun, Sa’at Sa’idah pukul 10.
- Hari Senin: Nabinya Muhammad, Malaikatnya Jibroil, Jinnya Maroot, Sa’at Sa’idah pukul 10
- Hari Selasa: Nabinya Sulaiman, Malaikatnya Samsamail, Jinnya Ahmar, Saat Sa’idah tidak ada (hari kurang baik).
“Demikian seterusnya setiap hari dijaga oleh nabi, malaikat, dan jinnya masing-masing. Ibaratnya, mereka inilah yang kena giliran piket,” tambah Saipudin.
Karena hari memiliki watak yang berbeda-beda, maka untuk penulisan jimat harus disesuaikan dengan tujuan dan harinya. Kalau untuk pelarisan dan efek psikologis lainnya sangat baik dibuat pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jum’at. Sedangkan untuk tujuan kadigdayaan dan efek fisik sebaiknya dibuat pada hari Selasa atau Sabtu.
Menserasikan karakter hari dengan perhitungan nilai/neptu nama si pemakai jimat merupakan hal yang sangat penting agar jimat dapat menunjukkan keampuhannya. “Ini tak beda dengan rumusan Fengshui atau Numerologi,” tandas Saipudin lagi.
Dalam penulisan atau pembuatan jimat kerap kali ditemukan ayat-ayat Qur’an atau lafadz-lafadz Asma’ul Husna. Karena itu tak mengherankan bila banyak kalangan ulama (terutama Ulama Fiqih) menuding hal ini sebagai tindakan yang diharamkan. Menurut Saipudin, tuduhan seperti ini wajar saja. Salah satu alasannya, ditakutkan ayat Qur’an atau lafadz-lafadz tersebut dibawa ke suatu tempat yang kotor. Misalnya saja tempat maksiat.
“Nah, untuk mensiasati hal tersebut, para ahli Ilmu Hikmah memiliki kiat tersendiri,” tanggap Saipudin. Kiat yang dimaksudkannya, adalah:
1. Mengganti huruf-huruf dalam lafadz dengan angka atau nilai dari huruf-huruf tersebut. Contohnya: Menggantikan lafadz Allah (dalam huruf Arab/Hijaiyah) dengan angka atau nilai dari huruf-huruf Alif, Lam, Lam, dan H. Jadi dalam jimat bisa ditulis: 1, 30, 30, 5 (dalam angka Arab). (Daftar nilai huruf-huruf Hijaiyah lihat ilustrasi).
2. Menuliskan ayat dengan cara memotongnya dengan kolom.

INSTITUSI SOSIAL ,JARINGAN SOSIAL, DAN DUKUNGAN SOSIAL

PERS PANCASILA: DARI KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL∗

Bagaimana kita melihat kehidupan pers? Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari
institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga masyarakat untuk
menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh
pikiran dan pendapat dari pihak lain. Institusi pers merupakan bagian dari institusi sosial
yang lebih luas, berupa kegiatan intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir
karena masyarakat memang memerlukan dan menyediakan mekanisme bagi forum alam
pikiran dan masalah sosial.
Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi yang memiliki peranan strategis dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan berlangsung melalui efek informasi ini dalam dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu sampai timbul tindakantindakan yang berpola dalam masyarakat.
Penyajian berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam
pikiran individu khalayak pembaca. Kalau efek individual ini memunculkan tindakantindakan
berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam masyarakat, maka
pers pun dapat disebut berperan.
Landasan semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar memiliki kesadaran nasional. Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional, yang vis-a-vis dengan sistem kolonial.
sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu membentuk kesadaran nasional pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana yang lebih memberikan kontribusi, apakah
pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh tokoh-tokoh perjuangan
yang memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada
dasarnya terbangun melalui media sosial, bukan melalui media pers.
Keterbatasan oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas,
boleh dicatat sebagai faktor betapa pers nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di
kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru yang relatif telah
mengentaskan banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk
tujuan mendidik seperti koran masuk desa, harus diimbangi dengan forum media seperti
kelompok pembaca.
***
Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan setiap
penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,
setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja
di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda
menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh
kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan
intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat
modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.
Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda
sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk
menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang
populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat
preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan
daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.
Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai
artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian
materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.
Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan
upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam
hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Belanda. Haaatzaai
artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih
menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada
dalam setting hukum kolonial.
Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator
sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat
penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat
dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,
misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,
masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan
intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia.
Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya. Keberadaan pers Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.
Dalam negara korporatis, keberhasilan aparat birokrasi dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Institusi ekonomi yang memi-liki jaringan global pada dasarnya tidak terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk
mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai
institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk
mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari
ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.
Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya
sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi
sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis
dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak
dari azas komodifikasi pers.
Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula
institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,
seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,
membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat
moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi
tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut, wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).
Demikianlah, dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.
Jika seluruh institusi kemasyarakatan (birokrasi negara, partai politik, intitusi ekonomi, institusi keagamaan, dsb) dalam sistem kenegaraan sudah berjalan sesuai dengan Pancasila, percayalah, pers Pancasila otomatis akan terwujud. Pers hanyalah cermin yang memantulkan bayangan sesuai di luar dirinya.


DUKUNGAN SOSIAL
Definisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “ Social support is the resources provided to us through our interaction with other people ”. (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Pendapat lain dikemukakan oleh siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. “ Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation “ (Siegel dalam Taylor, 1999).

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama.

Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.

Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk. Yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.


2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam memepengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Safarino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersdia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Duklungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

MODAL SOSIAL dan URBANISASI SEHAT DUNIA GLOBALISASI

MODAL SOSIAL & URBANISASI SEHAT DI GLOBALIZED DUNIA"

Pentingnya memajukan modal sosial dalam perencanaan pembangunan sehat, kami perlu dapat ukuran, monitor, dan pembelaan untuk ini dan secara bersama merealokasikan sumber daya. Yg diperlukan untuk memperlengkapi kembali kondisi imbang kekuatan pekerja sehat sehingga individualistis biomedical dan pandangan ekonomi lengkapkan secara bersama, fokus ilmu sosial dalam komunitas dan struktur sosial.

Ada kunci peranan disini untuk pekerja sehat dalam mengumpulkan hasil sehat dan menemukan serta menambah nilai intervensi sektor sosial, tetapi pertahanan dalam sektor sehat perlu diatasi. Banyak riset mungkin berperan untuk kebijaksanaan jika sesuai dengan perhubungan politis yang baik, bukti dapat dipercaya dan peneliti dan pembentuk kebijaksanaan jaringan biasa saling.berbagi dan percaya. Memaksimalkan harapan untuk berhasil, oleh karena itu memerlukan perbaikan kebijaksanaan yang dapat mengatasi pertahanan dan usul yang benar untuk meletakkan pada waktu yang tepat.

Kami menganggap bahwa 10 unsur kunci kami telah membangun modal sosial yang praktis berguna sebagai penunjuk jalan untuk pengembangan kebijaksanaan dan pengaplikasiannya. Unsur ini dapat membantu sumbangan modal sosial dapat menuju urbanisasi sehat di globalized dunia.


10 unsur kunci yang dibutuhkan dalam proses pengembangan modal sosial :

1. Menaksir hubungan & menanyakan pertanyaan yg benar. Pilihan dari pertanyaan dipengaruhi perkiraan ukuran dan petunjuk efek sehat, kepentingan diberitakan dlm agenda kebijaksanaan pemerintah, pemilihan waktu dan urgensi mendasari kebijaksanaan sehat atau siasat.

2. Mengenali pemegang taruhan. Analisis pemegang taruhan mengidentifikasi orang, kelompok, dan organisasi itu penting dianggap bila memperhatikan efek sehat.

3. Mengembangkan kapasitas pemegang taruhan mengambil tindakan dan membangun modal sosial dan kohesi. Kebijaksanaan dapat merubah hanya terjadi jika cukup pengetahuan, keahlian dan sumber daya pada tempatnya.

4. Menaksir lembaga dan memastikan kesempatan intersectoral kerja sama. Lembaga menentukan rangka dlm kebijaksanaan perbaikan mungkin mempengaruhi pemegang taruhan di pemerintah, pribadi sektor dan sipil masyarakat, dan gelanggang utama di mana pemegang taruhan saling berhubungan satu sama lain.

5. Memperkuat permintaan dari sisi penguasaan: menaksir dan memastikan partisipasi masyarakat dari organisator dan segi yg sah, termasuk mengenai kepastian akses ke data.

6. Memperkuat lembaga' peranan, fungsi dan struktur. Ikutserta dalam mengorganisir dan kritis diantara kebijaksanaan sasaran hasil, kebijaksanaan aksi-aksi, dan bagaimana mereka mempengaruhi kelompok pemegang taruhan kunci dalam sektor sehat dan sektor lain dalam berbagai tingkat.

7. Mengerahkan sumber daya. Untuk meningkatkannya mereka perlu merubah sosial lebih baik dalam pembagian sumber daya.

8. Membela untuk up-scaling dan merubah. Kebijaksanaan dan membidik sesuai pemegang taruhan yang berbeda tingkat.

9. Mengawasi dan mengevaluasi efek. Menyediakan peluang ke seperangkat sistem untuk mengawasi tahap awal.

10. Mengenali dgn tepat tingkat dan jenis intervensi. Sendiri, sekitar, kota, dan lain-lain.


Enam persyaratan yang penting bagi intervensi kebijaksanaan realistis untuk modal social :

1. Kita mengetahui kondisi arus, termasuk peranan norma-norma.

2. Kita mengetahui arus sehat dan kecenderungan sektor sosial dan mungkin berakhir setelah periode tertentu waktu ini cenderung terus ada.

3. Kita mampu menentukan hasil alternatif yg lebih disukai, atau hasil yg kami inginkan

4. Kita mampu merumuskan sehat dan kebijaksanaan sektor sosial (berdasarkan pengalaman masa lalu, intuisi, model resmi ,modal sosial dan kohesi) yang cenderung akan merubah arus dan membantu kita mencapai hasil yg kami inginkan

5. Kita mempunyai kapasitas (keahlian, sumber daya, persetujuan, dan lain-lain. ) melengkapi kebijaksanaan sehat ini secukupnya supaya tetap mencapai hasil yg kami inginkan

6. Kita mempunyai kapasitas pengawasan yang memberitahu kita jika kita menemukan jalan buntu jadi bagaimana kita perlu memodifikasi sehat dan kebijaksanaan sektor sosial, dan sebenarnya tetap mencapai hasil yg kami inginkan

Senin, 29 Juni 2009

SAATNYA PERAWAT TERJUN DI POLITIK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Berbicara tentang keperawatan berarti berbicara tentang keperawatan pada satu waktu tertentu, dan dalam hal ini, bab ini akan membicarakan tentang “Peran Perawat di Bidang Politik”.
Satu trend dalam pendidikan keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta didik keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan dasar di sekolah dan Universitas. Organisasi keperawatan professional terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan bagi perawat dalam mendapatkan dan memperluas peran baru.
Trend praktik keperawatan meliputi berkembangnya berbagai tempat praktik dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus-menerus meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota dari tim asuhan kesehatan. Peran perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan.
Trend dalam keperawatan sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-sapek dari keperawatan yang mengkarakteristikkan keperawatan sebagai profesi, meliputi pendidikan, teori, pelayanan, otonomi dan kode etik. Aktivitas dari organisasi professional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktik keperawatan kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1)Bagaimana kontroversi strategi pendidikan keperawatan di era globalisasi ini?
2)Bagaimana strategi pelayanan keperawatan di era globalisasi ini?
3)Bagaimana sistem penataan praktek keperawatan di Indonesia?
4)Bagaimana etika politik perawat dalam merawat pasien?
5)Bagaimana perbedaan model zaman sekarang dalam etika profesional?
6)Apa yang dilakukan seorang perawat di dunia politik?
7)Apa PPNI itu?

1.3 Tujuan
1)Untuk mengetahui politik keperawatan di era globalisasi
2) Agar perawat dapat mengaplikasikan etika politiknya dalam merawat pasien
3)Untuk mengetahui trend politik keperawatan saat ini
4)Untuk mengetahui tatanan pelayanan keperawatan profesional
5)Untuk mengetahui organisasi keperawatan di Indonesia












BAB II
PEMBAHASAN

2.1Kontroversi Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi
Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.
Salah satu tolok ukur kwalitas dari perawat dipercaturan Internasional adalah kemampuanuntuk dapat lulus dalam Ujian Kompetensi Keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan CGFNS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Di Kuwait pernah terjadi fakta yang memalukan sekaligus menjatuhkan kredibilitas bangsa terutama system pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia memiliki permasalahan yang berkaitan dengan Higher Education bagi perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait
Hal tersebut lebih disebabkan karena system pendidikan keperawatan kita yang sangat bervariasi. Efek yang paling buruk dari hal tersebut adalah tidak diakuinya perawat yang memiliki ijazah S1 Keperawatan (S.Kep) dan mereka hanya disamakan dengan D3 Keperawatan. Institusi pendidikan keperawatan harus dilakukan perubahan secara total antara lain:
a.Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.
b.Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa Inggris.
c.Menutup Institusi pendidikan keperawatan yang tidak berkualitas.
d.Institusi pendidikan keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.
e.Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di Institusi pendidikan keperawatan.
f.Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus berbahasa Inggris secara aktif.
g.Memberantas segala jenis KKN di Institusi pendidikan dimulai dari perizinan penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.
2.2 Strategi Pelayanan Keperawatan di Era Globalisasi
Praktek keperawatan sebagai tindakan professional harus didasarkan pada penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan di jadikan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostic, menyusun perencanaan, malaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Medis/Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a.Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b.Tidak jelasnya aturan yang ada seperti belum di tetapkannya RUU Keperawatan serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Indonesia.
c.Minimnya penghargaan financial dari pihak-pihak terkait terhadap perawat.
d.Kurang optimalnya perannya organisasi profesi keperawatan.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perawat dan keperawatan yang lebih disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat berkaitan tentang profesi perawat dan keperawatan terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda denagn “dokter”.
Sementara itu, dunia Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat bekerja selama 24 jam 1 hari dalam 2 atau 3 shift, sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sebagai perbandingan perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait mendapatkan gaji berkisar Rp.15 juta s/d Rp.24 juta sebulan, sedangkan rekan-rekan perawat yang bekerja di Indonesia jauh dibawah kebutuhan hidup mereka.
Beberapa contoh diatas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain. Perawat mutlak sangat di perlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Kita harus sudah mulai berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah:
a.Penentuan standarisasi gaji untuk perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.
b.Menciptakan system sirkulasi dalam penempatan perawat Indonesia ke luar negeri sehingga pada jangka panjang akan terjadi peningkatan penghargaan dan kesetaraan terhadap profesi keperawatan di Indonesia.
c.Memberikan sanksi kepada Rumah Sakit atau Institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standard.
2.3 Penataan Praktek Keperawatan
Dalam suatu penataan praktek keperawatan perlu adanya undang-undang, maka semua itu harus sesuai dengan standar kompetensi profesi, salah satunya kompetensi perawat ( SKP ) yang sudah diakui secara nasional. Penetapan SKP telah Konvensi Nasional antara BNSP, PPNI, dan Depkes pada tanggal 1-2 Juni 2006 di Gedung Depkes JL. HR Rasuna Said,Kuningan Jakarta Selatan. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional ( ICN, 2003 ) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerka dengan klie individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan asuha keperawatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan social lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjajedi 3 judulkompetensi utama, yaitu Praktek keperawatan profesional, Pemberian asuhan keperawatan dan menejemen keperawatan Pengembangan professional.
Peran profesional perawat tidak akan bisa di capai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara professional. Model praktik keperawatan professional yang dilaksanaka oleh perawat di tatanan pelayanan keperawatan masih mejadi suatu abstraksi. Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus digunakan sebagai tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatansistem pemberian pelayanan kesehatan ke system desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.
Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (D3 Keperawatan) dan berlakunya UU No.23 Tahun 1992,dan PERMENKES No.1239/2000; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan professional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada yaitu: model praktik di Rumah Sakit, rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.
2.4 Etika Politik dalam Merawat Pasien
Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.
Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung jawab professional kita.
Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983).
Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain.
Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”.
Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.
Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien.
Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.
Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama.
2.5 Perbedaan Model Zaman Sekarang untuk Etika Profesional
Adalah sulit untuk menyatukan kembali etika personal yang peduli dengan tipe etika yang diperlukan untuk management sistem pemberian pelayanan kesehatan modern yang kompleks. Hal ini muncul karena tekanan antara perbedaan jenis kompetisi etik dalam kehidupan professional, perbedaan antara: etika keperawatan, etika pelayanan, etika pelayanan public dan etika bisnis.
2.6 Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik
Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi tersebut.
Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan hukum yang berlaku.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan seorang perawat dalam berperan secara aktif maupun pasif dalam dunia politik. Mulai dari kemampuan yang harus dimiliki dalam bidang politik hingga talenta yang harus dimiliki mengenai “Sense of Politic”. Dalam wilkipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan berhak menjadi insane politik dengan mengikuti suatu partai politik , mengikuti ormas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Tidak dipungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satu pun suara yang menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena profesi kita pun membutuhkan penyampaian aspirasi yang patut untuk didengar dan diselesaikannya permasalahan yang ada, yang tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan. Sulitnya menjadikan RUU Keperawatan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative sana.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, diharapkan seorang perawat mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada di profesi keperawatan salah satunya seperti yang disebutkan diatas yaitu mengenai bagaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan tercapainya kualitas perawat bias dipertanggung jawabkan.
Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap periodenya. Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandarisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual, dan menjadi profesi yang dipertimbangkan.
Regulasi kewenangan perawat di lahan kliniktidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat dilahan klinik akan menjadiakan profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadinya malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di kancah perpolitikan Indonesia. Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari embrio yang akan diberikan suntikan ideology dari partai tersebut, ada juga partai yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.
2.7 Organisasi Keperawatan
Partai Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah organisasi keperawatan tingkat nasional yang merupakan wadah bagi semua perawat Indonesia, yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1974.
Menurut catatan yang ada sebelum PPNI, telah terdapat beberapa macam organisasi keperawatan. PPNI pada awalnya terbentuk dari penggabungan beberapa organisasi keperawatan, seperti:
IPI (Ikatan Perawat Indonesia),
PPI (Persatuan Perawat Indonesia),
IGPI (Ikatan Guru Perawat Indonesia),
IPWI (Ikatan Perawat Wanita Indonesia).
Setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang syah dapat mendaftarkan diri sebagai anggota PPNI dan semua mahasiswa keperawatan yang sedang belajar dapat disebut calon anggota.
PPNI setiap 4 tahun sekali menyelenggarakan musyawarah nasional. Dalam musyawarah ini selain pengurus pusat juga hadir para pejabat dan pengurus cabang. Berbagai masalah keperawatan dibahas dalam MUNAS tersebut yang kemudian memberikan hasil yang berupa rekomendasi atau keputusan organisasi.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi profesi keperawatan harus melakukan 5 fungsi, yaitu:
1.Definisi dan pengaturan professional melalui penyusunan dan penentuan standar pendidikan dan praktik bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktik (lisensi), sertifikat, dan akreditasi. Pengaturan juga dapat dilakukan melalui adopsi kode etik dan norma perilaku (Styles, 1983).
2.Pengembangan dasar pengetahuan untuk praktik dalam komponen luas dan sempit. Sumbangan utama untuk pengembangan ilmu keperawatan telah diberikan oleh berbagai ahli teori. Tujuan utama teori keperawatan adalah netralisasi ilmu keperawatan. Tantangan bagi para perawat di masa depan adalah menggerakkan pertanyaan dan memformulasikan teori dari teori yang telah dipublikasikan ini dan kemudian melakukan uji hipotesa melalui penelitian keperawatan. Karena hanya penelitian yang dapat menentukan manfaat suatu teori, penelitian memberikan sumbangan utama bagi pengembangan pengetahuan keperawatan.
3.Transmisi nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan kepada anggota profesi untuk diterapkan dalam praktik. Fungsi ini dilakukan melalui pendidikan para perawat dan berbagai proses sosialisasi.
4.Komunikasi dan advokasi tentang nilai-nilai dan sumbangsih bidang garap kepada masyarakat dan konstitusi. Fungsi ini menuntut organisasi perawat untuk berbicara pada perawat dari suatu posisi kesepakatan luas. Penting bagi perawat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan UU dan kebijakan pemerintah.
5.Memperhatikan kesejahteraan umum dan social anggota. Fungsi ini dilakukan oleh organisasi perawat dimana organisasi perawat ini memberikan dukungan moral dan social bagi anggota untuk menjalankan peranannya sebagai tenaga professional dan mengatasi masalah professional anggotanya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pada akhir makalah ini kami ingin lebih menegaskan bahwasannya politik harusnya disikapi sacara serius oleh semua pihak agar perawat Indonesia ke depan lebih siap umtuk berkompetisi di era globalisasi. Semua pihak yang terkait harus segera bersinergi dalam rangka menciptakan perbaikan dan perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih baik, pihak – pihak tersebut antara lain adalah:
Pemerintah
Swasta
Organisasi profesi ( PPNI )
Lembaga pendidikan
Perawat dan calon perawat
Ada beberapa hal yang menurut kami perlu segera dilakukan agar perbaikan keperawatan di Indonesia dapat segera tercapai, antara lain:
Pengesahan UU Pratek Keperawatan
Pembentukan Nursing Council (Nursing Board)
Reformasi system pendidikan keperawatan Indonesia
Peningkatan fungsi organisasi profesi








3.2 Saran
Fakta yang ada pada masyarakat, bahwa lulusan perawat masih belum di akui sebagai sosok profesional yang akan mampu memberikan kontribusi yang hebat dalam system pelayanan. Pandangan tersebut harus kita terima dengan lapang dada dan sekaligus sebagai pemicu adrenalin kita untuk membuktikan jati diri kita, bahwa seorang perawat adalah profesional dengan segala atribut yang menyertainya.
Hal yang harus dan terus kita lakukan adalah memperbaiki citra perawat dengan menunjukkan jati diri perawat dengan KOREK API (Komunikasi, Organisatoris, Responsif and Responsible, Efisiensi dan Efectif, Komitmen serta tunjukkan API : Aktualisasi, Produktif,dan Inovatif).














DAFTAR PUSTAKA

M. Muhammad, Siswanto. 2009. Trend dan Perkenbangan Kebutuhan Pelayanan Keperawatan dalam Persaingan Global. Dalam Simposium Nasional Keperawatan Universitas Airlangga
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2007. Manajement Keperawatan. Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Reformasi Keperawatan Indonesia. Website URL: http: //www.inna-ppni.or.id
Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta: EGC
Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global. Website URL: http: // io.ppi-jepang.org
Lowenberg & Dolgoff. 1988. Ethical Decisions for Social Work Practice. F.E. Peacock Publishers, Inc
Lancaster, J. 1999. Nursing Issues. In Leading and Managing Change. St. Louis: Mosby Company
Lindberg, JB., Hunter, ML., Kruszewski, AZ. 1990. Introduction to Nursing: Concept, Issues & Opportunities. Philadelphia: JB Lippincott
Bartels, JE. 2005. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences
Burns & Grove. 1999. The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B. Saunders Co
Buchan, J. & Calman, L. 2007. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Dalam www.icn.ch
Chitty, K.K. 1997. Proffesional Nursing. Concepts & Challenges . 2ed. Philadelphia: W.B. Saunder Company


Magnusdottir H. 2005. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming a Foreign Nurse. International Nursing Review
http://pioners07.blogspot.com/2009/02/saatnya-perawat-terjun-ke-dunia-politik.html
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 2 edition


















LAMPIRAN 1
Daftar Petugas Presentasi:
1)Penyaji : Mufidatus Sholihah/Sri Dwi Purnamasari
2)Moderator : Luluk Sri Lestari
3)MC : Sri Dwi Lestari/Meilani Fatih
4)Fasilitator :
Anggit Priambodo
Maratus Silmi
Meilani Fatih
M. Syaiful Amri
Muridan
Yanto
5)Penyusun naskah :
Luluk Sri Lestari
Mufidatus Sholihah
Zainal Arif Zulfitrah










LAMPIRAN 2
1
Nama Penanya :
Pertanyaan :


Nama Penjawab :
Jawaban :





2
Nama Penanya :
Pertanyaan :


Nama Penjawab :
Jawaban :


3
Nama Penanya :
Pertanyaan :


Nama Penjawab :
Jawaban :



4
Nama Penanya :
Pertanyaan :



Nama Penjawab :
Jawaban :

MODAL SOSIAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL

MODAL SOSIAL DAN KEBIJAKAN PUBLIK

PENGANTAR
Sebagaimana modal finansial dan modal manusia (human capital), modal sosial dewasa ini juga semakin diakui sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Ada kecenderungan bahwa seolah-olah modal sosial hanya dapat dikembangkan oleh komunitas dimana modal sosial tersebut beroperasi. Sehingga modal sosial seakan-akan hanya merupakan domain atau wilayah kerja masyarakat sipil (civil society) dimana inisiatif lokal, organisasi sosial, lembaga non-pemerintah dan gerakan-gerakan partisipasi lokal lainnya merupakan garda depan dalam membangun modal sosial. Kebijakan publik, termasuk di dalamnya kebijakan sosial, dapat dijadikan perangkat negara yang penting dalam membangun dan meningkatkan modal sosial. Pemerintah dapat menciptakan kondisi dengan mana modal sosial suatu komunitas dapat dikembangan atau sebaliknya. Tulisan ini berargumen bahwasanya saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menempatkan hukum, kebijakan dan program-program pemerintah sebagai perangkat yang penting dalam meningkatkan kualitas modal sosial yang pada gilirannya bermanfaat bagi pembangunan bangsa secara menyeluruh.
MODAL SOSIAL
Para ekonom telah lama berbicara mengenai modal (capital), khususnya modal ekonomi atau finansial ( financial capital ). Modal finansial adalah sejumlah uang yang yang dapat dipergunakan untuk membeli fasilitas dan alat-alat produksi perusahaan saat ini (misalnya pabrik, mesin, peralatan kantor, kendaraan) atau sejumlah uang yang dihimpun atau ditabung untuk investasi di masa depan. Konsep modal seperti ini relatif mudah dipahami oleh orang awam sekalipun, karena membelanjakan atau menginvestasikan uang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia dan melibatkan pemikiran serta indikator-indikator yang jelas. Modal finansial juga mudah diukur. Rupiah atau dollar dapat dihitung secara kuantitatif dan absolut, karena jumlah uang yang dibelanjakan dapat diidentifikasi sesuai jumlah barang yang dibelinya.
Para sosiolog, analis kebijakan, dan pekerja sosial belakang ini cukup sering membicarakan mengenai modal dalam bentuk lain, seperti modal manusia,
modal intelektual dan modal kultural atau budaya, yang juga dapat digunakan untuk keperluan tertentu atau diinvestasikan untuk kegiatan di masa yang
akan datang. Modal manusia, misalnya, dapat meliputi keterampilan atau kemampuan yang dimiliki orang untuk melaksanakan tugas tertentu. Modal
intelektual mencakup kecerdasan atau ide-ide yang dilmiliki manusia untuk mengartikulasikan sebuah konsep atau pemikiran. Sedangkan modal kultural
meliputi pengetahuan dan pemahaman komunitas terhadap praktek dan pedoman-pedoman hidup dalam masyarakat. Konsep mengenai modal manusia, intelektual dan kultural lebih sulit diukur, karena melibatkan pengetahuan yang dibawa orang di dalam benakn ya dan tidak mudah dihitung secara biasa. Modal sosial juga termasuk konsep yang tidak gampang diidentifikasi dan apalagi diukur secara kuantitas dan absolut.
Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi
sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap
kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997; Suharto, 2005a; Suharto 2005b).
Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial, Putnam dan Fukuyama, memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun berbeda, definisi keduanya memiliki kaitan yang erat (Spellerberg, 1997), terutama menyangkut konsep kepercayaan ( trust ). Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas.
Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional, interaksi dapat lahir pada saat visi dan tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagi cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini
terutama terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Seperti halnya modal finansial, modal sosial seperti ini dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan baik untuk kegiatan atau proses produksi saat ini, maupun untuk diinvestasikan bagi kegiatan di masa depan. Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal
sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul ‘kambing hitam’.

PARAMETER DAN INDIKATOR MODAL SOSIAL
Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995).
Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). Kepercayaan Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya ‘ We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work co-operatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: 5). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga- lembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-
harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional.
Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di
masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993;
Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupaka pra-kondisi maupun
produk dari kepercayaan sosial.
Jaringan
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama
antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya
komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhn ya kepercayaan dan
memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-
jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang
lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifta
formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa
jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para
anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
4

Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat
dijadikan ukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
Perasaan identitas
Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi
Sistem kepercayaan dan ideologi
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
Ketakutan-ketakutan
Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas
(misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan,
transportasi, jaminan sosial)
Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada
umumnya
Tingkat kepercayaan
Kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan
Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up),
tidak hierarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh
karena itu, modal sosial bukan merupakan produ k dari inisiatif dan kebijakan
pemerintah. Namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau
dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).
KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam
arti
government
, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan
pula
governance
yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta,
dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada
intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang
secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam,
finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak,
penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari
adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan,
teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik
suatu negara.
5

Banyak sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagian besar ahli
memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitann ya dengan keputusan atau
ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan
membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian
yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ‘apa saja yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. Seperti kata
Bridgman dan Davis (2004:3), seringkali, kebijakan publik tidak lebih dari
pengertian mengenai ‘
whatever government choose to do or not to do
.’
Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah atau konsep untuk
menjelaskan pilihan-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik,
seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum,
transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan atau kesejahteraan. Urusan-
urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah-sakit,
perumahan rak yat, lembaga-lembaga rehabilitasi sosial adalah beberapa
contoh yang termasuk dalam bidang kebijakan publik. Sebagai contoh,
kebijakan sosial secara ringkas dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
kebijakan publik yang mengatur urusan kesejahteraan. Kebijakan sosial
secara khusus sejatinya adalah kebijakan kesejahteraan.
Konsep kesejahteraan menunjuk pada proses mensejahterakan manusia atau
aktivitas untuk mencapai kondisi sejahtera. Di sini, istilah ‘kesejahteraan’
tidak perlu pakai kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor
atau bidang pembangunan sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga
tidak pakai embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’. Selain di Indonesia kata
sosial memiliki terlalu banyak arti dan karenanya sering disalahfahami, di
negara lain istilah yang banyak digunakan untuk menjelaskan ‘bidang sosial’
secara spesifik ini adalah ‘
welfare
’ (kesejahteraan) yang umumnya
menerangkan berbagai sistem pelayanan sosial dan skema jaminan sosial
bagi kelompok yang tidak beruntung. Oleh karena itu, istilah ‘pembangunan
kesejahteraan sosial’ sesungguhnya cukup disebut ‘pembangunan
kesejahteraan’. Implikasinya, Departemen Sosial juga lebih tepat jika diberi
nama Departemen Kesejahteraan. Sedangkan Menko Kesejahteraan Rakyat
lebih tepat diubah menjadi Menko Sosial karena mencakup bidang-bidang
pembangunan sosial yang luas dan menjadi payung Departemen
Kesejahteraan, Pendidikan, Kesehatan dan seterusnya.
Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini tidak bisa dihindarkan,
karena kata ‘kebijakan’ (policy) merupakan penjelasan ringkas yang
berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan
keputusan-keputusan, penerapan, dan evaluasinya. Telah ban yak upaya untuk
mendefinisikan kebijakan publik secara tegas dan jelas, namun pengertiannya
6

tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang-tindih,
ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mendifinisikan kebijakan publik hanya
sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan
pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman,
acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai
garis besar atau
roadmap
pemerintah dalam melakukan kegiatan
pembangunan.
Tulisan ini mengambil posisi bahwa setiap perundang-undangan adalah
kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan. Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain
untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna
‘kebijakan’ hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi-
organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Sosial (Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluaga, dll)
dan lembaga-lembaga voluntir lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula.
Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik
karena tidak dapat memakai sumberdaya publik atau memiliki legalitas
hukum sebagaimana lembaga pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah
memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat dan berhak menggunakan
uang dari pajak tersebut untuk mendanai kegiatan pembangunan. Hal yang
sama tidak dapat dilakukan oleh organisasi non-pemerintah, Karang Taruna
atau kelompok-kelompok arisan.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis (2004) menyatakan
bahwa kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-
pernyataan yang ingin dicapai.
Proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan
pemerintah yang telah dipilih.
Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan
pemerintah.
Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana
penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.
Keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh
pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.
Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan
diikuti oleh Y.
Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif
panjang.
7

DIMENSI KEBIJAKAN PUBLIK
Bridgeman dan Davis (2004: 4-7) menerangkan bahwasanya kebijakan
publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai
pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum (authoritative choice),
sebagai hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).
Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal
Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat
oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan-
keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak atau
mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti menyiapkan rancangan
undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh
parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan progam
tertentu.
Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat
direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara
harapan dan kenyataan, antara apa yang sud ah direncanakan den gan apa yang
dapat dilaksanakan. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti
bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai
isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-
kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya
merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah diterbukti efektif jika
diterapkan. Dalam kontkes ini, adalah penting mengembangkan proses
kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat
menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara
teratur dan mencapai hasil baik.
Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yang
kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan
para politisi, lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi para birokrat, serta
intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media dan warga negara.
Inti dari dunia politik adalah lembaga eksekutif, yakni kelompok menteri
yang meduduki posisi puncak dan memiliki kewenangan pemerintahan atas
nama parlemen. Para menteri tidak saja memahami nuansa politik
pekerjaannya, melainkan pula menghargai bahwa dirinya dan para pemain
lain dalam pemerintahan memerlukan arahan-arahan kebijakan. Kekuasaan
diwujudkan melalui kemampuan melahirkan keputusan-keputusan yang
8

dinyatakan secara jelas dan terarah. Melalui kebijakan-kebijakan,
pemerintahan membuat ciri khas kewenangannya. Karena dari kompleksitas
dunia politik harus dibuat pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan kemudian dapat di lihat sebagai respon atau tanggapan resmi
terhadap isu atau masalah publik. Hal berarti bahwa kebijakan publik adalah:
Intensional atau memiliki tujuan. Kebijakan publik berarti pencapaian
tujuan pemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik.
Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian
konsekuensi-konsekuensinya.
Terstruktur dengan para pemain dan langkah-langkahnya yang jelas
dan terukur.
Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas
program lembaga eksekutif.
Kebijakan publik sebagai hipotesis
Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan
akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi
mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong
orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak
melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan
(proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme
mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi. Misalnya, jika pemerintah
menaikan harga BBM, maka akan banyak orang mengurangi biaya
perjalananya, akibatnya tempat-tempat pariwisata akan semakin jarang
dikunjungi dan para pemilik hoter serta pedaganag disekitar lokasi wisata
mengalami kerugian. Atau, jika BBM dinaikkan akan banyak perusahaan
menaikan harga produksinya yang akan mengakibatkan harga barang-barang
meningkat dan masyarakat kelas bawah semakin sulit memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Namun demikian, kebijakan bukanlah laboratorium tempat ujicoba. Biasanya
sulit untuk mengevaluasi asumsi-asmsi perilaku sebelum sebuah kebijakan
benar-benar dilaksanakan. Pemerintah mungkin memperkirakan bahwa
sebuah paket pengurangan pajak akan mendapa respon positif dari rakyat.
Tetapi, hingga pemerintah mengumumkan pengurangan itu dan mengukur
dampaknya, para menteri harus selalu waspada karena akibat yang
ditimbulkan kebijakan tersebut belum tentu sesuai dengan perkiraan
sebelumnya.
9

Kebijakan biasan ya diciptakan dalam situasi ketidakpastian dan diuji oleh
lingkungan dimana ia diterapkan. Para pembuat kebijakan belajar dengan
menemukan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membuat asumsi-
asumsi dan model-model kebijakan. Sebuah proses kebijakan yang baik
biasanya merumuskan asumsi-asumsinya secara jelas sehingga para
pelaksana kebijakan memahami teori dan model kebijakan yang mendukung
keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi di dalamnya.
Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi-kalkulasi
ekonomi dan sosial dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Memandang
kebijakan sebagai sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran
dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan evaluasi. Pembuatan
kebijakan yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-
pelajaran dari pengalaman-pengalaman kebijakan dan menerapkan pelajaran
itu dalam langkah perumusan kebijakan berikutnya. Karena ban yaknya
pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan,
mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan perbaikan
kebijakan berikutnya tidak selalu mudah dilakukan. Temuan-temuan di
lapangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan perlu dicatat dan
didokumentasikan secara baik dalam sebuah naskah kebijakan (policy paper)
sehingga dapat diperlajari dan disebarluaskan. Seorang analis kebijakan dari
Amerika, Aaron Wildavsky men yatakan bahwa ‘kita berharap bahwa
hipotesis baru dapat dikembangkan menjadi teori yang mampu menjelaskan
realitas lebih baik’ (Bridgman dan Davis 2004). Teori-teori yang baik yang
dukung oleh hasil-hasil evaluasi, merupakan dasar guna memperbaiki
kebijakan-kebijakan publik.
Kebijakan publik sebagai tujuan
Kebijakan adalah
a means to an end
, alat untuk mencapai sebuah tujuan.
Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik.
Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang
didesain untu mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik
sebagai konstituen pemerintah. Proses kebijakan harus mampu membantu
para pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah kebijakan
tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan
masalah baru. Misalnya, sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan jelas,
program-program akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi
pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis akan menyatakan
bahwa pemerintah telah kehilangan arah. Karenanya, sebuah kebijakan yang
baik akan menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan secara ekplisit:
10

Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan tindakan yang akan
dilakukan.
Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan.
Hasil-hasil yang akan dicapai dan kurun waktu tertentu.
Proses perumusan kebijakan yang effektif memperhatikan keselarasan antara
usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design)
pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan
menkankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan
dengan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan.
Kebijakan publik dibuat oleh banyak orang dalam suatu rantai pilihan-pilihan
yang meliputi analisis, implementasi, evaluasi dan rekonsiderasi
(pertimbangan kembali). Koordinasi ini hanya dimungkinkan jika tujuan-
tujuan kebijakan dinyatakan secara jelas dan terukur. Manakala tujuan-tujuan
kebijakan tidak jelas atau berlawanan satu sama lain, kebijakan hanya
memiliki sedikit kesempatan untuk berhasil. Penetapan tujuan merupakan
langkah utama dalam sebuah proses lingkaran pembuatan kebijakan.
Peneapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling penting karena hanya
tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan
publik.
Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali kehilangan arah dalam
menetapkan tujuan-tujuan kebijakan. Solusi kerapkali dipandang lebih
penting daripada masalah. Padahal yang terjadi seringkal sebaliknya dimana
sebuah solusi yang baik akan gagal jika diterapkan pada masalah yang salah
(Suharto, 2005a). Di sini, identifikasi masalah dan kebutuhan (needs
assessment) menjadi sangat penting. Kebijakan yang baik dirumuskan
berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat.
Aktivitas kebijakan sangat cepat bergerak. Setelah keputusan dibuat,
kegiatan-kegiatan untuk menerapkan keputusan tersebut harus segera
dipersiapkan. Waktu dan kewenangan yang tersedia guna mendukung arah
yang dipilih umumnya sangat terbatas dan karenanya menuntut penyesuaian.
Pilihan-pilihan kebijakan yang telah dipilih tidak menutup kemungkinan
menjadi sedikit berbeda dengan pilihan-pilihan sebelumnya.
Tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapka juga biasanya sedikit
melenceng dikarenakan adanya akibat-akibat yang terjadi diluar perkiraan.
Akibat sampingan (side effects) atau yang dikenal dengan istilah
externalities
atau
spillovers
ini hanya bisa diketahui setelah kebijakan diterapkan. Selain
mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan,
externalities
tentu saja
11

‘mengganggu’ hasil-hasil kebijakan yang telah ditetapkan danbahkan tidak
jarang menciptakan masalah-masalah baru yang lebih kompleks. Sebuah
skema pemberian lisensi pada kegiatan tertentu, seperti pembentukan skema
asuransi sosial atau pemberian kredit mikro bagi rakyat miskin, biasanya
mengancam elit tertentu atau kelompok status quo yang kemungkinan
terganggu oleh kebijakan baru. Secara politis mereka berupaya menghambat
atau merubah kebijakan baru itu yang dipandang menguntngkan atau
minimal tidak mengganggu kepentingan mereka.
Agar kebijakan tetap terfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan,
pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang
meliputi perencanaan dan evaluasi. Dalam proses ini, para pembuat kebijakan
biasanya dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan?
Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintah
secara keseluruhan, departemen-departemen pemerintahan,
kelompok-kelompok klien, kelompok-kelompok kepentingan, dan
masyarakat banyak?
Apa dan bahaimana hubungan antara alat-alat impelementasi dengan
tujuan-tujuan kebijakan?
Apakah ada alat atau mekanisme implementasi yang lebih sederhana?
Bagaimana kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang lainnya?
Dapatkan kebijakan yang baru itu menghasilkan perbedaan seperti
yang diharapkan?
Dalam sebuah lingkaran perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang
legal dibuat berdasarkan hipotesis yang rasional guna mencapai tujuan-tujuan
kebijakan yang ditetapkan. Rumusan sederhana ini menunjukan hubungan
antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai
pilihan tindakan legal, sebagai hipotesis dan sebagai tujuan merupakan tiga
serangkai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiganya merupakan
prasyarat sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif.
MENGEMBANGKAN MODAL SOSIAL VIA KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada
political will
dan penciptaan jaringan-jaringan, kepercayaan, nilai-nilai
bersama, norma-norma, dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi
manusia di dalam sebuah masyarakat.
12

Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesifitas,
altruisme, gotong-royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam
sebuah komunitas. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan
berkembang bukan saja karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan,
melainkan pula karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan
berorganisasi, terjalinnya relasi yang berkelanjutan, serta terpeliharanya
komunikasi dan dialog yang efektif. Gambar 1 menunjukkan bagaimana
kebijakan publik dapat mempengaruhi lingkaran modal sosial yang pada
glilirannya menjadi pendorong keberhasilan pembangunan, khususnya
pembangunan sosial dan pembangunan kesejahteraan.
Tumbuhnya
Interaksi
saling
efektif antar
pengertian
Pembangunan
manusia
Sosial
Tumbuhnya niat
baik,
KEBIJAKAN
MODAL
kepercayaan dan
PUBLIK
SOSIAL
norma
Pembangunan
Berkembangnya gotong royong,
Kesejahteraan
altruisme, kohesifitas, keyakinan
untuk berpartisisipasi
Gambar 1: Kebijakan Publik dan Modal Sosial
Beberapa strategi kebijakan publik yang dapat dirancang guna mempen garuhi
tumbuh-kembangnya modal sosial adalah sebagai berikut:
1. Memperkuat kepercayaan sosial (social trust) melalui:
Model integrasi dan relasi di dalam dan di luar lembaga-
lembaga pemerintahan
Proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan
pertentangan berdasarkan prinsip ‘
win-win policy’
Desentralisasi dalam pengambilan keputusan
2. Menumbuh-kembangkan nilai-nilai bersama, melalui:
13

Kurikulum pendidikan
Hukum dan kebijakan keteraturan
Perasaan bersama mengenai identitas dan kepribadian sebagai
satu negara-bangsa
Peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif,
seperti hak azasi manusia, hak-hak publik
Kepastian standar
3. Mengembangkan kohesifitas dan altruisme, melalui:
Pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang
melakukan kegiatan sosial atau Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (corporate social responsibility)
Registrasi dan pengorganisasian kegiatan-kegiatan
kedermawanan sosial
4. Memperluas partisipasi lokal, melalui:
Pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan
Dukungan bagi program pengembangan masyarakat
(community development) guna meningkatkan kapasitas
masyarakat dan kepemimpinan lokal
Inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga
5. Menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui:
Kolaborasi diantara lembaga pemerintah dan antara lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta
lembaga usaha
Dukungan terhadap organisasi-organisasi sukarela untuk
membangun jaringan dan aliansi
6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat warga dalam proses tata
pemerintahan yang baik (good governance), melalui:
Kampanye agar orang terlibat dalam proses pemilihan
pemerintah pusat dan daerah secara demokratis
Konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat
Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan
penganalisisan implementasinya
Promosi dan sosialisasi konsep mengenai masyarakat warga
yang aktif
Penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses
secara luas oleh masyarakat
MANFAAT
Apa manfaat yang dapat diperoleh melalui penerapan strategi kebijakan
publik yang difokuskan pada pengembangan modal sosial

Meningkatnya partisipasi di dalam masyarakat sehingga terdapat
kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih baik dalam
mencapai tujuan bersama.
Meningkatnya partisipasi dalam proses-proses demokrasi sehingga
pemerintah pusat dan lokal lebih akuntabel dan terbuka dalam
mendengarkan beragam suara dan aspirasi masyarakat.
Menguatnya aksi bersama yang merefleksikan perasaan
tanggungjawab bersama
Tumbuhnya dukungan bagi, dan kepercayaan diri pada, individu
dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya.
Menguatnya perasaan memiliki, identitas dan kebanggaan bersama
sebagai satu warga masyarakat.
Menurunnya tingkat kejahatan, korupsi dan alienasi karena
meningkatnya keterbukaan, kontrol sosial, kerjasama dan harmoni.
Meningkatnya hubungan dan jaringan antara sektor pemerintah,
swasta, lembaga sukarela dan keluarga.
Terjadinya tukar-menukar gagasan dan nilai diantara keragaman dan
pluralitas warga masyarakat.
Rendahnya biaya-biaya transaksi karena adanya koordinasi dan
kerjasama yang erat dan memudahkan penyelesaian konflik.
Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam merespon guncangan
yang datang tiba-tiba karenan ad anya jaringan kerjasama yang erat di
antara seluruh komponen masyarakat warga.
Menguatnya kemampuan dan akses masyarakat dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber-sumber yang ada di sekitar mereka.