Selasa, 30 Juni 2009

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF ALA PONARI:

Di tangan bocah cilik Mohammad Ponari segenggam batu dipercaya dapat mengobati segala macam penyakit. Jadilah dia berjuluk dukun cilik yang sepanjang pagi hingga malam diburu puluhan ribu orang yang berharap berkah kesembuhan darinya. Warga yang mencari kesembuhan tak hanya memadati rumah dan halaman keluarga Ponari. Desa Balongsari, Jombang, Jawa Timur, kampung halaman Ponari pun penuh sesak oleh lautan manusia.

Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini 11 Februari lalu. Alasannya, Ponari kelelahan dan jatuh sakit. Dan telah jatuh korban pula. Empat orang tewas ketika berdesakan hendak memburu pengobatan Ponari. Setelah ditutup, warga yang tak kebagian air bekas celupan batu milik Ponari memburu air di sumur dan comberan di sekitar rumah Ponari. Lantaran peminatnya terus berdatangan, pekan ini, pengobatan Ponari akhirnya dibuka kembali.

Banyak orang kadung percara dengan pengobatan ala Ponari. Namun tahukah Anda, ketika Ponari sakit, si dukun cilik itu dibawa ke dokter. Meski tak sampai menginap di rumah sakit, masyarakat perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehatnya saat harus percaya dengan pengobatan ala Ponari. Karena bahkan pada dirinya sendiri, dia tak mampu menyingkirkan sakit yang menderanya. Bukan itu saja. Kasmin, ayah Ponari, pun lebih memilih pengobatan modern dibandingkan harus berobat ke anaknya sendiri.

Benarkah jimat memiliki kekuatan yang tersembunyi? Apakah ini hanya takhayul semata?

Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Jimat” diartikan sebagai benda yang mengandung kesaktian untuk menolak penyakit, menjadikan kebal senjata, dan sebagainya.
Penggunaan “dan sebagainya” pada keterangan tersebut agaknya sengaja dilakukan penyusun kamus agar pendefinisian kata “Jimat” tidaklah terlalu panjang dan bertele-tele. Pada kenyataannya, keyakinan mengenai jimat memang tidak berhenti pada aspek menolak penyakit dan kebal senjata. Masih banyak aspek-aspek lain yang diyakini bisa muncul lewat kekuatan (gaib) sebuah jimat. Sebagai contoh, jimat untuk peruntungan, jimat pengasihan, hingga jimat untuk kekuatan seks.
Benda-benda yang dianggap sebagai jimat dilaporkan ditemukan di berbagai belahan dunia. Pada masyarakat Mesir Kuno, misalnya, ada macam-macam jimat yang ditemukan menempel pada mumi. Dua di antaranya adalah yang disebut Scarab sebagai lambang keabadian, dan Ankh berupa palang terbalik sebagai simbol kehidupan. Kedua model jimat ini masih digunakan di Barat.
Di wilayah Polinesia terdapat Tiki, berupa benda kecil berbentuk ukiran tubuh manusia yang berhubungan dengan kelahiran. Jimat model ini juga masih populer di Barat.
Sementara itu, benda-benda alamiah berbentuk aneh pun kerap dipakai sebagai jimat. Mulai dari logam, bulu, kain, kayu, tulang, kerang, gigi dan kuku binatang, sampai tanaman. Barang-barang itu diyakini menyimpan energi dari kekuatan alam. Sebagai contoh, bagi pria suku primitif Mocovi di Chaco, Amerika Utara, kuku rusa yang diikatkan di pergelangan kaki dan pinggang dijadikan sebagai jimat agar membuat mereka bisa berlari secepat rusa.Atau, kita tak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di kalangan masyarakat kita pun ada kepercayaan yang nyaris serupa. Batu akik kecubung asihan dipercaya punya khasiat menolak penyakit menular, menambah rasa percaya diri, kewibawaan, dan kehormatan. Jenis akik ini biasanya juga dipakai sebagai jimat agar enteng jodoh.
Demikianlah beberapa buah contoh jimat alamiah, yang tentu saja untuk memperolehnya tidaklah mudah. Bahkan, jimat-jimat alamiah tersebut sejatinya tidak bisa langsung siap pakai atau langsung terasa khasiatnya, melainkan juga harus melalui proses ritual tersendiri untuk pengisiannya.
Sekarang, mari kita fokuskan pembahasan kita pada berbagai jenis jimat buatan manusia, yang tentu saja ahli dalam bidang ini. Mengutip pendapat Prancis Barrett dalam The Magis or Celestial Intelligencer, apa yang disebut sebagai jimat buatan tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu kala, dan khasiatnya memang bisa dirasakan. Sebagai contoh, Barrett mengatakan, “Jika seseorang mengenakan jimat dari perak, logam yang mewakili bulan, dibuat ketika bulan sedang baik, maka orang itu akan mendapatkan kesehatan yang baik dan dihormati orang.”
Menurut Saipudin, paranormal yang cukup kondang dengan berbagai kreasi bentuk jimat, apa yang dinamakan sebagai jimat buatan memang sengaja “diisi” dengan kekuatan gaib lewat ritual tertentu. Dengan disertai doa dan niat tertentu, kekuatan itu akan mengalir ke dalam benda yang menjadi sarana jimat.
“Pengisian kekuatan gaib pada benda-benda tersebut harus dengan laku (tirakat). Misalnya, dengan bertapa seperti dilakukan para empu zaman dulu. Atau kadang saya mengisinya dengan cara melakukan wirid dan riyadhoh, dengan disertai puasa selama empat puluh hari,” tambah Saipudin
Jimat buatan memang dibikin oleh ahlinya dengan cara mencurahkan pikiran dan kekuatannya pada suatu benda sehingga menghasilkan energi gaib yang luar biasa. “Khasiat jimat, terutama jimat buatan, sangat tergantung pada niat saat pengisian,” tegas Saipudin.
Ada anggapan awam bahwa setiap benda bisa “diisi” atau dijadikan sebagai jimat. Oleh Saipudin hal ini dianggap kurang tepat. Dengan mengutip penjelasan yang terdapat dalam Kitab Mamba’u Usulil Hikmah, dia menyebutkan hanya ada empat macam benda yang bagus dijadikan sebagai media jimat. Keempat macam benda tersebut, adalah: kain, kertas, logam (terutama emas, perak, besi, dan timah), dan kulit binatang (harimau dan kijang).
Pemilihan media jimat tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembuatan jimat. “Sebagai contoh, untuk membuat jimat pelarisan bisnis atau usaha itu sangat baik bila menggunakan media kain atau logam berupa perak atau besi. Sementara untuk kadigdayaan, sangat baik jika menggunakan media berupa kulit binatang, harimau atau kijang,” papar Saipudin.

Khasiat Jimat
Benarkah sebuah jimat dapat berkhasiat? Atau mungkin khasiat itu muncul akibat sugesti semata? Lantas, apakah benar menggunakan jimat itu secara hukum agama (Islam) dikatakan sebagai syirik?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, yang selama ini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat awam, sebelumnya marilah kita simak kisah berikut ini, yang kami nukilkan dari Kitab Kisosul Anbiya….
Seperti diketahui, atas ijin Allah, Nabi Sulaeman AS bisa melakukan hal-hal yang sangat luar biasa. Dia bisa memerintah bangsa jin, menundukkan angin, berdialog dengan berbagai jenis binatang, dan lain sebagainya. Berkat kemampuannya yang maha luas ini, Sulaeman menjadi seorang raja yang kaya raya, dan mendapat pengakuan baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Kendati demikian dia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana.
Untuk melancarkan roda pemerintahan yang dipimpinnya, Sulaeman didampingi oleh dua orang perdana menteri. Masing-masing adalah Asip Bin Barkhoya yang berasal dari bangsa manusia, dan Istirohi yang berasal dari bangsa jin.
Tanpa sepengetahuan Sulaeman, Istirohi sesungguhnya sudah sejak lama ingin mengetahui apakah yang menjadi sumber kekuatan sang nabi. Sebagai jin yang licik dan licin, dia selalu kasak-kusuk mencari rahasia itu, sampai akhirnya dia pun mengetahui bahwa sumber kekuatan Nabi Sulaeman terdapat pada cincin kesayangannya. Cincin ini memang tak pernah lepas dari jari manis Sulaeman.
Istirohi tak pernah berhenti mencari akal untuk mencuri cincin ini. Sampai suatu ketika mimpinya itu menjadi kenyataan.
Dikisahkan, suatu ketika saat Nabi Sulaeman sedang mandi di kolam pemandian raja, tanpa curiga ada yang memiliki niat jahat pada dirinya, dia meletakkan cincin kesayangannya itu di atas batu yang ada di tepian kolam. Ketika itulah Istirohi mencurinya. Dia kemudian segera pergi ke ruangan sang raja. Begitu memakai cincin tersebut, maka menjelmalah Istirohi sebagai Sulaeman yang agung dan perkasa.
Lantas, apa yang terjadi dengan Nabi Sulaeman?
Dikisahkan, setelah kehilangan cincinnya maka dia pun kehilangan semua kekuatan dan keperkasaan yang ada pada dirinya selama ini. Bahkan, tak ada seorang pun dari hamba dan rakyatnya yang mengenali siapa dia yang sesungguhnya. Ya, Sulaeman benar-benar berubah menjadi orang biasa, rakyat jelata.
Ringkas cerita, Sulaeman akhirnya terusir dari kerajaannya sendiri. Dia mengembara dan hidup sangat miskin. Bahkan untuk sekedar makan saja sulit untuk mendapatkannya.
Sampai suatu ketika, tibalah Sulaeman di sebuah pesisir. Di sana, dia melihat seorang nelayan tengah menarik dan melepas ikan-ikan dari jalanya. Karena didorong oleh rasa lapar, Sulaeman menawarkan diri untuk membantu si nelayan. Si nelayan tidak keberatan, namun dia hanya bisa memberikan satu ekor ikan kepada Sulaeman sebagai upah dari jerih payahnya.
Tidak diceritakan berapa lama Sulaeman membantu nelayan tua itu. Namun disebutkan, karena terpesona oleh keluhuran budinya, maka si nelayan akhirnya menikahkan Sulaeman dengan salah seorang putrinya.
Begitulah, Sulaeman menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan….
Sementara itu, setelah Nabi Sulaeman kehilangan cincinnya, maka Istirohi-lah yang menguasai seluruh kerajaannya. Dengan cincin sakti itu, Istirohi benar-benar menjadi Sulaeman baik secara fisik maupun kekuatannya. Hanya satu hal yang membuat hamba dan rakyatnya merasa heran. Sulaeman tak lagi memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sebagai sosok perdana menteri yang cakap dan andal, Asip Bin Barkhoya menaruh curiga pada sang raja yang telah berubah. “Mengapa Baginda Sulaeman menjadi tidak adil? Bukankah dia bukan hanya raja, tapi juga nabi yang harus berbuat adil kepada ummatnya?”
Kira-kira demikianlah kecurigaan Asip Bin Barkhoya. Dia merasa yakin bahwa yang memerintah saat itu bukanlah Sulaeman yang sebenarnya.
Akhirnya, Asip Bin Barkhoya mengadakan sebuah rapat rahasia dengan para ponggawa kerajaan lainnya. Ternyata, semuanya memiliki kecurigaan yang sama. Namun masalahnya, bagaimana cara membuktikan kecurigaan itu.
Setelah melakukan dialog, Asip Bin Barkhoya tiba pada suatu kesimpulan bahwa untuk membuktikan yang duduk di singgasana adalah Sulaeman palsu, maka harus diadakan pembacaan Kitab Zabur di dalam istana. Semua menyetujui usulan ini.
Pada hari yang telah ditentukan, saat Sulaeman palsu masih lelap di peraduan, sebuah majelis akbar digelar untuk membacakan Kitab Zabur. Apa yang terjadi?
Saat ayat-ayat Zabur berkumandang maka kepanasanlah seluruh tubuh Sulaeman palsu alias Istirohi. Dia menjerit-jerit kesakitan. Semakin keras Zabur dibaca, maka Istirohi pun semakin kesakitan, bahkan kemudian tubuhnya terlempar ke angkasa dan cincin sakti milik Nabi Sulaeman itu terlepas dari jari manisnya.
Dikisahkan, setelah terlepas dari tangan Istirohi cincin itu kemudian jatuh ke tengah samudera dan dimakan oleh seekor ikan. Ikan ini kemudian tertangkap oleh jala Nabi Sulaeman AS yang telah menjadi nelayan. Tanpa curiga, Sulaeman membawa ikan ini ke rumahnya. Saat isterinya membersihkan ikan tersebut, maka di dalam perut ikan ditemukanlah cincin sakti miliknya yang telah lama hilang.
Akhir dari cerita ini tentu sudah dapat diduga. Sulaeman memakai cincin sakti itu, dan dia kembali seperti sediakala….
Kisah tersebut jelas merupakan ujian Allah atas kenabian Sulaeman AS. Di samping itu, ada hal yang dapat disandingkan dengan pembahasan kita mengenai kesaktian sebuah jimat. Bahwa, Allah SWT memang berkehendak memberi kekuatan kepada benda-benda tertentu. Salah satunya, seperti pada cincin Nabi Sulaeman sebagaimana dikisahkan tadi.
Lalu, simak pula kisah kemukjizatan tongkat Nabi Musa AS yang dapat membelah lautan. Intinya, benda apa saja dapat memiliki kekuatan tersendiri atas ijin Allah SWT. Dalam lingkup yang lebih kecil, tidaklah mustahil atau bahkan diklaim sebagai takhayul bahwa jimat-jimat itu juga mengandung suatu kekuatan.
Baik cincin atau tongkat pada kisah Sulaeman dan Musa tentu saja kedua benda tersebut hanyalah media. Hal yang sama tentunya berlaku juga pada jimat. Ya, jimat, apa pun bentuknya, hanyalah sebuah media. Sementara kekuatan yang ada di dalamnya mutlak dari dan berasal dari Allah SWT. Karena itu, apakah seorang yang memegang jimat harus dianggap syirik?
“Tentu saja semua itu tergantung pada keyakinan masing-masing. Namun menurut hemat saya, hal tersebut harus kita kembalikan pada proses pembuatannya. Jika proses pembuatannya bersendikan pada Al Qur’an dan hadits, menurut hemat saya tentu tidak perlu dipermasalahkan,” komentar Saipudin menanggapi pertanyaan di atas.
Lebih lanjut diuraikan olehnya bahwa cara membuat jimat, mulai dari pemilihan bahan hingga proses penulisannya sesungguhnya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Untuk menulis jimat misalnya, perlu diketahui rumusannya.
“Sama seperti matematika, penulisan jimat juga ada rumusnya. Jadi, tidak boleh sembarangan,” tegas Saipudin.
Seperti halnya Aljabar, menulis jimat juga mengenal perhitungan. Sebagai contoh, jika ingin membuat jimat dengan mencantumkan lafadz Asma’ul Husna yang jumlah nilainya 35 dengan memasukkannya ke dalam 8 kolom, maka kedua pertemuan sudut harus menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 35. Demikian juga angka-angka pada kotak yang di tengah harus berjumlah 35 juga (lihat contoh kolom jimat).
“Mengapa harus seperti ini? Nah, ini tidak bisa dicarikan penjelasannya, sebab sudah pakem dari para ahli Ilmu Hikmah memang seperti itu,” urai Saipudin.
Di dalam pakem yang sama, juga telah ditetapkan aturan penulisan kolom-kolom pada jimat, yakni dimulai dari 4, 5, 6, dan 8. Ada juga yang 13 kolom, namun ini jarang digunakan karena tingkat kesulitannya. Masing-masing dari jumlah kolom tersebut juga memiliki nama tersendiri. Contohnya, yang 4 kolom disebut Murobba’, 5 kolom Mukhommas, dan yang 6 kolom disebut Musaddas.
Sementara itu, menyangkut waktu penulisan jimat digunakan dua rumus sekaligus, yakni rumus hari dan jam. Dijelaskan oleh Saipudin, kedua rumusan ini penting dipakai karena pada masing-masing hari ada rahasianya tersendiri. Menyangkut jam yang baik disebut sebagai Sa’at Sa’idah.
“Dalam pakem Ilmu Hikmah, setiap hari itu dijaga oleh nabi, malaikat dan jin yang berbeda. Rumusan ini sudah ada sejak ribuan tahun silam, hanya saja jarang diungkap. Mungkin, hanya para santri yang pernah belajar di pondok pesantren salafiyah (tradisional) yang mempelajarinya. Hal itupun sangat jarang diajarkan Kyai, kecuali kepada para santri senior yang sudah mesantren puluhan tahun,” papar Saipudin.
Terkait dengan rumus hari dan Sa’at Sa’idah, sebagai contoh disebutkan Saipudin:
- Hari Minggu: Nabinya Isya, Malaikatnya Rupayail, Jinnya Maimun, Sa’at Sa’idah pukul 10.
- Hari Senin: Nabinya Muhammad, Malaikatnya Jibroil, Jinnya Maroot, Sa’at Sa’idah pukul 10
- Hari Selasa: Nabinya Sulaiman, Malaikatnya Samsamail, Jinnya Ahmar, Saat Sa’idah tidak ada (hari kurang baik).
“Demikian seterusnya setiap hari dijaga oleh nabi, malaikat, dan jinnya masing-masing. Ibaratnya, mereka inilah yang kena giliran piket,” tambah Saipudin.
Karena hari memiliki watak yang berbeda-beda, maka untuk penulisan jimat harus disesuaikan dengan tujuan dan harinya. Kalau untuk pelarisan dan efek psikologis lainnya sangat baik dibuat pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jum’at. Sedangkan untuk tujuan kadigdayaan dan efek fisik sebaiknya dibuat pada hari Selasa atau Sabtu.
Menserasikan karakter hari dengan perhitungan nilai/neptu nama si pemakai jimat merupakan hal yang sangat penting agar jimat dapat menunjukkan keampuhannya. “Ini tak beda dengan rumusan Fengshui atau Numerologi,” tandas Saipudin lagi.
Dalam penulisan atau pembuatan jimat kerap kali ditemukan ayat-ayat Qur’an atau lafadz-lafadz Asma’ul Husna. Karena itu tak mengherankan bila banyak kalangan ulama (terutama Ulama Fiqih) menuding hal ini sebagai tindakan yang diharamkan. Menurut Saipudin, tuduhan seperti ini wajar saja. Salah satu alasannya, ditakutkan ayat Qur’an atau lafadz-lafadz tersebut dibawa ke suatu tempat yang kotor. Misalnya saja tempat maksiat.
“Nah, untuk mensiasati hal tersebut, para ahli Ilmu Hikmah memiliki kiat tersendiri,” tanggap Saipudin. Kiat yang dimaksudkannya, adalah:
1. Mengganti huruf-huruf dalam lafadz dengan angka atau nilai dari huruf-huruf tersebut. Contohnya: Menggantikan lafadz Allah (dalam huruf Arab/Hijaiyah) dengan angka atau nilai dari huruf-huruf Alif, Lam, Lam, dan H. Jadi dalam jimat bisa ditulis: 1, 30, 30, 5 (dalam angka Arab). (Daftar nilai huruf-huruf Hijaiyah lihat ilustrasi).
2. Menuliskan ayat dengan cara memotongnya dengan kolom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar